Freitag, Juli 16, 2004

16 juli

Freitag, Juli 16, 2004 /

Tadi ‘berburu’ buku lagi di Gramedia. Asyiikk..!! setelah muter2 cari buku pengganti n buku buat aq sendiri, aku akhirnya beli buku “Bolehkah Aku Memanggilmu, Ayah?” karya Chichi Sukardjo sama “Anak Sepasang Bintang” Antologi FLP. Baru baca yang “Bolehkah Aku Memanggilmu, Ayah?” itu pun masi belom selesai Sama dengan judul bukunya, judul cerita ini adalah “Bolehkah Aku emmanggilmu, Ayah?”
Segala rutinitas yang mengantarkan aku pada kesibukan mengurus karier, uang dan kekuasaan (pekerjaan), boleh jadi telah mengeraskan hatiku. Terlebih lagi jabatanku di perusahaan semakin strategis dan menuntut tanggung jawab yang besar. Aku sadari juga ternyata ini pun menjauhkanku dari nilai-nilai ukhrawi yang sejak kecil ditanamkan oleh kedua orang tuaku. Dan, ternyata di satu masa, hal-hal berbau agamis hilang begitu saja digulung menjauh dari relung kalbu.

Saat ini, aku sudah berkeluarga dengan dua orang putra-putri yang boleh kubanggakan. Kata orang aku tampan dan brilliant. Istriku juga wanita karier yang tidak saja cantik dan pintar, tapi juga lemah lembut dan keibuan. Pendeknya, rumah tanggaku dikaruniai kebahagiaan. Alhamdulillah.

Selama ini hal-hal yang bersifat social diurus dengan baik oleh istriku. Bantuan untuk anak yatim, rumah jompo, anak-anak cacat, pembangunan masjid, sekolah, dan laun-lain. O ya, termasuk mengalokasikan dana darigaji kami untuk zakat, kurban, infak, dan sedekah.aku sih tinggal menerima laporannya saja. Pokoknya tugas utamaku adalah mencari uang. Karena bukankah hanya dengan uang kita bisa menyelesaikan semua masalah?

Walau kadang-kadang istriku mengingatkanku agar tidak terlalu keras bekerja. Aku Cuma tersenyum kecut. Memangnya dari mana semua kemewahan bisa diperoleh kalau tidak bekerja keras? Dari mana semua kebtuhan hidup dapat diraih kalau bukan dengan uang?

Namun demikian, pandanganku soal materi lenyap begitu saja ketika sore itu aku menemani istriku menyantuni anak-anak yatim di sebuah panti asuhan di pinggiran kota Jakarta. Panti asuhan suram, kotor dan penuh anak-anak kurus, pucat dan bau. Pakaian yang dikenakan mereka sudah tak layak pakai lagi. Mengapa sih istriku tidak mencari tempat santunan yang lebih baik? Yng lebih bersih gitu? Yang anak-anaknya lebih manis-manis, bersih dan beradab. Huhh..tahu begini malas deh aku nganterin!

Saat itu, acara kami bersilaturahmi di panti asuhan sudah hampir selesai. Semua anak sudah dibagikan pakaian baru, perlengkapan sekolah dan ejumlah buku cerita dan majalah anak-anak. Makanan, minuman, serta sejumlah uang tunai yang dititipkan kepada ibu asrama cukup untuk konsumsi sebulan panti.

Aku bersiap-siap hendak ke mobil, ketika seorang anak perempuam sebaya Salsabilla, putriku berusia tujuh tahun, takut-takut mendekatiku.

“Om…” tanyanya ragu.
“Ya, ada apa saying?” aku mencoba ramah. Kulihat dia tidak seperti anak lainnya. Kulitnya sawo matang bersih dan wajahnya cantik. Matanya yang berbinar menunjukkan kecerdasan dan kemurnian hati.
“Om, bolehkah sayameminta sesuatu?”
“Mau minta apa lagi?” jawabanku terdengar agak ketus. Aku kaget juga mendengarnya.
“Eh…ee, maksud Om, apa lagi yang kamu butuhkan?” kucoba memperbaiki diri saat kulihat bola matanya mulai digenangi air mata.
“Bolehkah sasa-saya minta se…se…suatu?” tanyanya terbata-bata dengan suara nyaris hilang diembus angin.
“Tentu saja boleh, Saysng. Mau boneka Barbie?” aku teringat Salsa yang mengoleksi Barbie legkap dengan rumah, pakaian, dan pernak-pernik lainnya. Tapi, gadis kecil ini menggelengkan kepala.
“Hmm…,sepatu baru mungkin?” aku mencoba mulai bermain teka-teki. Dia masih tetap menggeleng.
“Atau sebuah sepeda mini?” tapi tetap saja dia menggeleng. Aku jadi kesal. Mau minta apa sih? Uang barangkali, omelku dalam hati.
“Apa Om enggak marah?” tanyanya takut-takut. Aku menggeleng menyejajarkan pandanganku dengan matanya sambil memegang kedua bahunya.
“Katakan sayang, mau minta apa?”
“Mmm,mmm, bolehkah saya memanggil Om, ayah?” tuturnya dengan penuh keraguan. “Saya, saya tidak pernah punya ayah. Kata Ibu Tien, kepala panti, Bapak mati ditabrak kereta api waktu saya masih dalam perut Emak. Saya kepingin sekali punya ayah. Bolehkah saya memanggi Om, ‘Ayah’?”

Duhai Allah, ada apa ini? Mengapa seorang anak panti tidak tertarik dengan benda-benda mahal yang kutawarkan kepadanya? Dia hanya ingin memanggilku Ayah. Aku tidak pernah menangis, kehidupan yang keras telah mengajariku lupamenitikkan air mata, itu pun saat bulan Ramadhan dan berbuka puasa bersama para relasi dan kerabat.

Tapi saat ini hatiku tergunjang hebat. Allah swt. Secara telak mengalahkanku. Astaghfirullah al’-azhiim. Kupeluk dia erat-erat “Tentu saja sayang, kamu boleh memanggilku Ayah.”

“Betul?” wajahnya menyiratkan rasa tidak percaya namun bahagia. Kami berpelukan beberapa saat.

“Ayah, bolehkan saya minta satu lagi?” aku mengangguk.

“Bolehkah saya minta foto Ayah, Ibu dan Kakak-kakak? Saya akan kasih lihat sama teman-teman di sekolah bahwa saya juga punya keluarga sama seperti mereka. Boleh?”
***
hik.hik. aku baca cerita itu langsung nyes rasanya..pengen nangis saking terharunya..
trenyuh ga sih, saat kita mengira anak-anak di luar sana hanya membutuhkan makanan enak, pakaian bagus, mainan mahal? Anak-anak pun membutuhkan kasih saying keluarga..jadi bagi yang masi punya keluarga, hargailah apa yang kau dapatkan saat ini