Montag, Oktober 25, 2004

mengetuk pintu surga

Montag, Oktober 25, 2004 /

Mengetuk Pintu Surga dalam Fatamorgana

hatinya perih. Ia tersesat, entah ke jalan mana dia berjalan. Dia hanya berjalan, berjalan dan berjalan. Ia hanya berhenti saat ia lelah. Saat lelahnya telah hilang, ia kembali berjalan. Ia bertemu banyak hal. Ia menemui canda dan tawa, senyuman kebahagiaan termanis yang pernah ia jumpai. Ia menemui perihnya duka dan galaunya hati mereka. Tangisan yang menyayat hati dan seperti tak pernah terhenti. Hitam memenuhi jeda waktunya. Langkahnya terhenti. Ia menghadap sebuah pintu. Sebuah pintu yang sangat ingin ia ketuk dan masuki. Pintu yang terbuat dari cahaya, berlapis emas dan perak, bertabur permata. Setiap manusia yang meliriknya pasti akan terpukau dan ingin menjangkaunya. Begitu juga dengan dia. Tapi tiba-tiba pintu hilang. Lenyap. Rupanya itu hanya fatamorgana. Sesal menggelayut. Ia sangat penasaran, apa yang ada di balik pintu itu. Panas dan dingin silih ia rasakan. Hawa yang berganti dan terus berganti tak menyurutkan langkahnya. Ia terus berjalan. Tiba rasa haus dan lapar menghadangnya. Ia melirik bekalnya. Tinggal sedikit. Sepanjang mata memandang, tak ada jalan akhir. Rupanya jalan yang dilaluinya masih panjang. Ia harus mengumpulkan bekal lagi. Secepatnya.